Aku pikir ia akan melepaskan.
Seperti daun yang tahu musimnya sudah habis,
seperti sungai yang tak bisa memaksa hujan untuk tinggal.

Tapi pagi itu, saat aku diam-diam mencoba meninggalkan semuanya—
dengan langkah ringan yang pura-pura tegar,
dengan pesan singkat yang seperti petunjuk arah yang tak ingin dibaca ulang—
ia muncul.

Bukan dengan amarah.
Bukan dengan tangis.
Ia berdiri seperti pohon yang tetap tegak meski angin tak lagi sopan.

“Mau ke mana?” katanya.

Sederhana.
Tapi suaranya penuh celah—seperti retakan kecil pada cermin yang masih mencoba memantulkan dunia.

Aku menunduk.
Karena jika aku menatapnya, aku tahu aku akan runtuh.
Tidak karena kelemahanku,
karena di dalam dirinya ada sesuatu yang lebih kuat dari seluruh alasan yang sudah aku susun malam-malam sebelumnya.

“Kamu sudah cukup tahu kenapa.”

Kataku akhirnya.

Kaku.
Karena jika kuberi nada lembut, hatiku akan ikut bicara.

Ia mengangguk.
Tapi tidak mundur.

Langkahnya justru mendekat—perlahan,
seperti seseorang yang tahu bahwa satu sentuhan saja bisa menghancurkan atau menyembuhkan.

“Aku tidak minta kamu sembuh sekarang,” katanya.

“Aku tidak mau jadi pelabuhan. Tapi… kalau kamu harus karam, karam di sini saja. Aku tidak keberatan jadi laut yang tenang.”

Aku terdiam.
Sebab dunia terlalu sunyi untuk membalas dengan kata-kata.

Ia duduk.
Di sebelahku.
Dan diam.
Tidak mencoba meraih.
Tidak mencoba menahan dengan tangan.
Ia menahan dengan keberadaan—
dengan tekad yang tidak bicara, tapi terasa.
Dengan cinta yang tidak disebut, tapi menempel di udara.
Beberapa menit, kami hanya duduk.
Seperti dua batu di tepi danau.
tanpa bergerak, tapi saling memahami bahwa keberadaan bisa jadi satu-satunya hal yang membuat segalanya tetap utuh.

Lalu ia berkata pelan,

“Kamu tidak harus tinggal. Tapi kamu juga tidak harus pergi terburu-buru. Kadang, kita hanya butuh ruang yang tidak memaksa kita memilih.”

Dan saat itu, untuk pertama kalinya,
aku ingin percaya bahwa mungkin,
aku bisa tinggal sedikit lebih lama.
seseorang telah memilih tidak menjauh, saat melihat seluruh retak di tubuhku.


Hari-hari setelahnya tak lagi memiliki tanggal.
Waktu mulai terasa seperti kain lembab yang dijemur di ruangan tanpa matahari—
menggantung, tak kering, tetap ada.
Ia masih di situ.
Bukan untuk menunggu,
membuktikan bahwa penantian butuh harapan.
Sementara ia hanya diam,
seperti dinding tua yang tak pernah mengusir lukisan lama, meski warnanya mulai pudar.

Aku masih bersamanya.
Atau lebih tepatnya; tubuhku duduk di sampingnya,
sementara jiwaku mulai menggambar pintu-pintu yang tidak terlihat oleh mata.
Seseorang pernah bilang,

“Rasa ingin pergi tak selalu muncul karena tak nyaman. Tapi kadang, karena terlalu damai.”

Dan entah bagaimana, aku mulai mengerti.
Damainya membuatku curiga.
Kenapa bisa seseorang sebaik itu tidak berlari saat mencium bau hangus dari masa laluku?
Aku mulai bertanya pada angin, pada detak jam yang tak pernah menoleh ke belakang, pada bayanganku sendiri—kenapa aku tidak bahagia meski tidak sedih?
Aku mulai berjalan lebih jauh dari biasanya.
Meninggalkan kopi yang ia seduh.
Membiarkan pertanyaannya menggantung tanpa gantungan.
Dan saat ia menatapku dengan mata yang mulai kehilangan cahaya,
aku cuma tersenyum tipis—senyum orang yang tahu jawabannya tidak enak diucapkan.

“Kamu berubah,” katanya, suatu malam.

Tapi ia tidak menuduh.
Hanya menyatakan.

Aku diam.
Di dalam pikiranku, aku sedang memberesi kamar yang tidak pernah kumiliki.
Mengemas rasa, melipat kenangan,
mencari pegangan yang tak akan membuatku menoleh saat benar-benar pergi nanti.
Aku tidak ingin menghilang.
Tapi aku juga tidak ingin tinggal sebagai hantu di dalam hubungan yang terlalu hidup.
Ia layak dicintai oleh seseorang yang tidak menghitung langkah mundurnya setiap malam.
Dan aku…
aku terlalu sering berbicara dengan bayangan orang-orang mati.

Maka aku pergi—
bukan dalam bentuk pelarian.
Tapi dalam bentuk kepergian yang tidak membawa kabar.
Aku hanya menghilang dari jalan yang biasa kulewati,
dari taman yang biasa kami singgahi,
dari pagi-pagi yang biasa kami bagi dalam sunyi.
Aku tidak menulis pesan.
Karena tidak semua kehilangan pantas diberi tanda baca.
Dan ia—ia tidak mencariku.
Mungkin karena ia tahu,
dada ini tidak punya pintu.
Hanya ada lubang yang menganga
dan siapa pun yang masuk akan jatuh
tanpa tahu caranya kembali.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *