Malam merayap masuk, membawa serta desah panjang dan pertanyaan-pertanyaan yang enggan kusambut.

“Sampai kapan kau akan terus bersembunyi dalam bayang-bayang ini?”
Suara itu—lirih namun tajam—bergema di relung pikiranku; aku berbicara pada diriku sendiri, atau mungkin pada sosok lain yang telah lama kukenal; ketakutanku.

Di kejauhan, sirine meraung, memecah kesunyian dengan nada pilu; roda brankar berdecit di atas lantai dingin rumah sakit, mengiringi tubuh-tubuh yang terbungkus kain putih; tak ada isak tangis, hanya hening yang menyesakkan.

“Apakah ini akhir dari segalanya?”
Pertanyaan itu mengendap di benakku; tak menuntut jawaban, hanya meninggalkan jejak kegelisahan.

Ayah, Ibu, sahabat…
Mereka tak benar-benar pergi; mereka lenyap, ditelan waktu tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Sejak saat itu, dunia kehilangan warnanya; ambulans bukan lagi simbol harapan, melainkan pengingat bahwa cinta bisa direnggut kapan saja, tanpa peringatan.

Aku pernah menjadi tanah tandus—menolak tumbuh, menolak merasa. Namun, di suatu malam yang sunyi, di antara jeritan tanpa suara dan pelukan yang tak pernah sampai, aku berbisik pada diriku sendiri,
“Cukup. Waktunya menghadapi semuanya.”

Aku mendekati suara itu; aku melangkah masuk ke dalam ambulans; bukan untuk menyerah pada kematian, tetapi untuk belajar hidup kembali—membangun kedamaian dari puing-puing yang berserakan.

Dan kemudian, dia hadir.
Seorang pria dengan kata-kata yang hemat, namun matanya menyimpan lautan cerita. Dalam diamnya, aku menemukan percakapan yang membuatku percaya; mungkin, dunia masih menyisakan seseorang untukku.

Kami tak pernah merencanakan pertemuan itu. Namun, dalam keheningan, aku merasakan sesuatu darinya yang sulit dijelaskan; pemahaman tanpa syarat.

Namun, dunia jarang memberi tanpa mengambil.
Saat luka-lukaku mulai sembuh, dia mulai terluka; dan aku memilih menjauh—
bukan karena cinta memudar,
tetapi karena aku perlu menemukan siapa diriku saat berdiri sendiri.

Segalanya menjadi samar. Namun, entah mengapa, bayangannya tetap jelas; dan aku masih bertanya-tanya,
apakah ini pertanda untuk kembali…
atau undangan terakhir untuk menghilang.

3 komentar untuk “Prolog”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *