Pada hari kelima, aku memutuskan untuk menyapanya.
“Pak, sedang menunggu seseorang?”
Ia tak langsung menjawab. Matanya tak bergerak dari kolam.
Beberapa detik kemudian, ia berkata pelan, nyaris seperti bisikan.
“Aku hanya menjaga agar dia tak keluar.”
Aku mengerutkan kening. “Siapa, Pak?”
Ia akhirnya menoleh ke arahku. Matanya dalam. Terlalu hitam.
“Aku tidak tahu namanya. Tapi dulu… aku duduk di kursimu.”
Aku mundur satu langkah. Kursi di belakangku—kosong.
Seketika aku menoleh ke belakang, lalu kembali melihat ke arahnya. Tapi…
Dia sudah tidak ada.
Yang tersisa hanyalah jaket lusuh di kursinya… dan bau tanah basah yang menguar samar.