BAB II: Lorong yang Tak Terdaftar – Panggilan dari Lantai 13

Pintu lift terbuka perlahan. Di hadapanku, lorong gelap terbentang. Karpetnya lusuh, dindingnya berjamur, dan hawa dingin menyergap seperti tangan-tangan tak kasat mata yang menarikku masuk.

Aku seharusnya menutup pintu lift dan turun. Tapi kakiku justru melangkah keluar.

Begitu aku menoleh—pintu lift sudah hilang.

Yang ada hanya dinding abu-abu kusam, dan… suara telepon berdering di kejauhan.

Aku mengikuti suara itu, melewati lorong yang seolah memanjang sendiri. Lampu-lampu redup di langit-langit menyala dan padam sesukanya. Aku menemukan satu telepon tua tergantung di dinding, gagangnya berayun perlahan. Berdering.

Aku mengangkatnya.

Halo?

Sebuah suara perempuan membisik pelan, seperti angin mati:

“Kau tidak seharusnya di sini… Tapi sekarang, kau harus menggantikanku.”

“Apa maksudmu? Siapa kamu?”

Tapi sebelum dia menjawab, aku mendengar sesuatu.

Langkah berat. Seperti kaki yang diseret. Makin dekat. Makin nyata.

Aku berbalik.

Lorong kosong.

Tapi bayang-bayang di lantai… bukan punyaku saja

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *