Dunia tidak berubah.

Tapi ada yang mulai retak pelan-pelan di dalamku—sebuah kesadaran samar, bahwa mungkin aku bisa merasa lagi.

Dan di antara pagi-pagi yang terasa seperti sore,
aku bertemu dia.
Ternyata, dia sudah ada sejak lama,
hanya saja mataku baru terbuka ke arahnya.

Ia bukan seseorang yang datang dengan tanya.
Ia datang seperti kabut.
Tak terlihat tiba, tapi tahu-tahu sudah memenuhi udara.

Aku tidak ingat namanya disebut.
Atau mungkin memang tak pernah ada nama.
Tapi aku mengingat caranya duduk—
tidak mengambil ruang,
tidak mengusik,
hanya hadir seperti kursi yang tak pernah bertanya kenapa kau memilih duduk di atasnya.

Kami tidak banyak bicara.
Percakapan kami bukan tentang kata,
melainkan tentang waktu yang diam-diam dibagi.

Pernah, suatu siang yang malas, ia berkata,
“Beberapa orang tidak butuh diajak bicara. Mereka hanya butuh didengarkan oleh keheningan yang tidak asing.”
Aku tidak menjawab.
Tapi dalam pikiranku, kalimat itu tumbuh seperti akar.

Menjalar, memeluk sisa-sisa ketakutan yang masih terjaga.

Aku tidak tahu kapan perasaan itu mulai muncul.
Perasaan bahwa aku bisa bernapas lebih tenang jika ia duduk di dekatku.

Tidak tergambar semacam cinta,
mungkin rasa nyaman yang tumbuh dari penerimaan.

Ia tidak melihatku sebagai puzzle yang harus disusun.
Ia membiarkanku pecah,
tanpa sibuk menyatukan.

Tapi luka tidak pernah datang sendirian.
Dan aku mulai menyadari—
semakin ia mengenalku,
semakin sorot matanya berubah.

Ia mulai diam lebih lama.
Seolah mencari cara untuk tidak ikut retak.

Seolah tubuhnya sedang belajar menampung,
padahal ia sendiri belum tentu penuh.

Sampai pada satu sore yang basah oleh langit,
ia batuk.

Batuk yang berat
Ada sesuatu dalam suara itu— seperti serpihan diriku yang mungkin sudah terlalu jauh menempel di tubuhnya.

Aku terdiam.
Dan dalam diam itu, aku tahu; kehadiranku adalah luka yang berpindah tempat.
Dan ia sedang mencoba menanggungnya, tanpa tahu cara mengembalikannya.

***

Hubungan kami tidak punya awal yang jelas,
dan barangkali memang tidak dirancang untuk punya akhir yang pasti.

Sejak awal, kami berjalan berdampingan—
tidak bergandeng tangan, tapi napas kami mulai menyesuaikan irama.

Ia suka duduk di tepi taman.
Katanya, “Tempat ini sunyi. Tak ada yang sibuk mengingatkanmu bahwa hidup harus cepat.”

Dan aku percaya, meski ia sering menatap langit terlalu lama,
seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung jatuh.

Pernah suatu malam, ia menatapku lama sekali.
Lalu dengan suara nyaris hilang, ia berkata,
“Kamu seperti rumah yang terbakar diam-diam.
Lampunya padam, tapi tak seorang pun tahu bagian dalamnya sedang hancur.”

Aku tak menjawab.

Sebab aku tahu, ia sedang mencoba menjadi air,
walau hatinya sendiri mulai hangus.

Kami sering bicara tentang hal-hal kecil.
Tentang kucing yang selalu berpindah tempat tidur,
tentang aroma hujan yang terasa asing bila turun di hari Jumat,
tentang masa kecil yang terselip di balik tumpukan angka sekolah.

Namun tak sekali pun kami menyebut masa depan.

Barangkali karena aku sadar,
masa depan bersamaku tak ubahnya ladang ranjau.
Dan ia terlalu tulus untuk terus melangkah sambil menyimpan luka dari tanah yang kutinggali.

Kadang ia menggenggam tanganku—perlahan,
seolah sedang menyentuh luka lama yang belum kering.
Tapi tidak akut,
dia hanya ingin menjaga agar aku tak semakin retak.

Ia tahu segalanya.
Tentang sirine ambulans yang membuatku gemetar,
tentang caraku menatap langit seperti mencari wajah-wajah yang hilang,
tentang mimpi panjang yang tak punya pintu keluar.

Dan meski tahu, ia tetap tinggal.

Tapi setiap malam aku mendengar batuknya semakin dalam.
Tubuhnya makin diam.
Tatapannya perlahan kosong,
seolah menanggung sesuatu yang tak ia lakukan.

Aku mulai paham—
bersamaku, ia menanggung beban yang tak pernah terlihat,
tapi terus menggigit perlahan dari dalam.

Maka aku mundur.
Tak sekaligus.
Sedikit demi sedikit.

Mengurangi pesan.
Menghindari pertemuan.
Membiarkan malam lewat tanpa suara.

Dan ketika ia bertanya, aku hanya menjawab,
“Aku ingin berjalan sendiri dulu.”

Padahal yang ingin kukatakan adalah:
“Aku takut mencintaimu lebih lama.
Sebab mungkin, aku akan menghancurkanmu lebih dalam.”

Ia tak menahan.
Hanya tersenyum.
Dan dalam senyuman itu,
kulihat luka yang tak akan pernah bisa kuselamatkan.

2 komentar untuk “Dua”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *