Aku lahir dari malam yang tidak tahu kapan harus pagi.
Orang-orang bilang waktu itu berjalan, tapi sejak suara itu menembus kulit dunia,
aku merasa waktu hanya berdetak tanpa kemauan.
Tidak bergerak.
Tidak berpaling.
Hanya menunggu satu jenis cahaya yang berputar.
Aku tidak tahu nama pastinya.
Mereka menyebutnya panggilan darurat, kendaraan penolong, harapan terakhir.
Tapi bagiku, ia hanya—lampu.
Lampu yang tak membawa harapan,
hanya tahu jalan pulang ke rumahku,
dan tak pernah kembali membawakan siapa-siapa.
Pertama kali aku mendengarnya, aku masih kecil.
Namun di dalam tubuhku yang muda, ada sebuah suara yang tak ikut tumbuh.
Ia terjebak dalam gema pertama sirine yang tak menuju rumah sakit,
melainkan rumah duka.
Sejak itu, aku tak pernah lagi mendengar bunyi itu sebagai bunyi.
Ia menjadi warna.
Merah, biru, merah, biru, merah.
Lalu gelap.
Ayahku pergi duluan.
Ia menghilang seperti pintu yang ditutup pelan—tidak menakutkan, tapi mengganggu.
Ibuku menyusul, namun tak benar-benar pergi.
Suara doanya kadang menyelinap lewat retakan ubin,
terutama saat malam terlalu senyap dan detak jam dinding terasa seperti nafas orang lain.
Lalu temanku.
Sahabat.
Yang terlalu sering menyebut kata “nanti”,
dan mati sebelum sempat menghapusnya dari janji-janji kecil.
Sejak itu, aku tinggal bersama detak.
Detak yang tak berasal dari jam, melainkan dari pikiranku sendiri.
Dan dari detak itu tumbuh ketakutan.
Aku tidak takut mati.
Hanya takut pada apa yang datang menjemput mereka.
Mesin.
Roda.
Dan lampu.
Aku hidup seperti jalan satu arah yang dibangun dari pertanyaan;
mengapa semua yang kucintai justru dijemput oleh benda yang katanya menyelamatkan?
Maka aku menjauh.
Dari suara.
Dari roda.
Dari sirine.
Dari hidup.
Namun tak ada yang benar-benar bisa dijauhi.
Sebab segala yang ditakuti akan selalu menemukan jalannya kembali pulang.
***
Hari itu bukan hari yang istimewa.
Langit biasa saja—tidak murung, tidak cerah, hanya kosong seperti wajah orang yang sedang menunggu sesuatu tapi lupa apa.
Aku berjalan padahal enggan,
tapi diam tak lagi nyaman.
Di seberang jalan,
di antara suara motor dan langit yang kehilangan arah,
ada sebuah kendaraan yang mematung.
Warna putihnya tidak mencolok, tapi cahaya yang memantul dari kapnya terasa seperti sorot mata seseorang yang mengenal semua rahasia tentangku.
Ambulans.
Aku pikir tubuhku akan berbalik.
Tapi tidak.
Kakiku seperti telah bersepakat dengan sesuatu yang lebih dalam dari ketakutan.
Aku melangkah.
Satu per satu.
Tidak cepat. Tidak lambat.
Seolah aku sedang menghitung doa terbalik.
Pintu belakangnya tidak terkunci.
Ada suara berdecit kecil saat kusentuh,
seperti desah dari sesuatu yang sudah terlalu lama menunggu.
Aku masuk.
Di dalam sana,
semuanya sepi.
Bukan sepi yang kosong,
tapi sepi yang seperti pernah menjadi penuh lalu ditinggalkan begitu saja.
Ada tandu.
Ada kursi.
Ada bekas jejak tangan di dinding logam yang dingin.
Aku duduk.
Tepat di tempat di mana dulu mungkin mereka—ayah, ibu, sahabat—pernah terbaring.
Tapi kali ini tidak ada tubuh.
Tidak ada tangisan.
Tidak ada darah.
Hanya aku,
dan udara yang terasa seperti sisa pelukan yang belum selesai.
Anehnya, aku tidak takut.
Untuk pertama kalinya,
aku tidak mendengar sirine sebagai ancaman,
tapi sebagai gema yang jauh—seperti doa yang nyasar dari langit lain.
Aku menutup mata.
Di dalam ruang logam itu, aku merasa seperti berada dalam rahim waktu.
Tak ada masa lalu, tak ada masa depan,
hanya sekarang yang perlahan menyentuh dadaku seperti bisikan dari sesuatu yang tidak ingin menyakitiku lagi.
Dan untuk alasan yang tak bisa kujelaskan,
aku merasa damai.
belum sembuh,
karena mungkin,
aku tak lagi melawan.
hahahahahaha sad bgt